Sabtu, 07 April 2018

Kenapa Harus Belajar?

Kenali Tipe Belajarmu
Oleh : Alfa L. Szanaya

Belajar. Kenapa sih kita harus belajar? Dari TK, SD, SMP, SMA, kuliah (bagi yang menempuh semua jenjang itu) selama hidup rasanya tak pernah luput dari belajar. Belajar yang saya maksud di sini adalah belajar secara akademik, bukan belajar-belajar yang lain. Meskipun belajar tidak melulu pada batasan itu, karena belajar bisa dari pengalaman atau yang lainnya.

Dulu waktu kecil mungkin belajar adalah suatu rutinitas yang harus disuruh dan dipantau sama ortu (kalau ortunya kolot). Dan untungnya saya lahir dari keluarga yang Bapak dan Emak saya tidak kolot-kolot amat. Selama hidup saya sampai sekarang ini, saya ingat Emak menyuruh saya belajar hanya satu kali : saat akan Ujian Nasional waktu kelas 3 SMP. Lalu, sejak kecil bagaimana? Gak pernah belajar? Gak pernah disuruh belajar? Ortu gak perhatian dong? Terlepas dari semua itu, saya sendiri juga tidak paham mengapa beliau tidak pernah menyuruh saya belajar, karena saya ingat betul dari sebelum TK memang suka belajar dan membaca buku. Saya sendiri juga lupa dulu pertama kali tau ABC dari siapa. Yang saya ingat, saya pun mengenal alif, ba, ta, sebelum mengenal ABC dan saya tidak pernah belajar dengan Emak atau Bapak secara talaqqi. Aneh bukan? Tapi realitanya seperti itu.

Ketika di sekolah, pernah gak sih merasa bosan, atau tidak nyaman dengan metode pengajaran yang disampaikan? Atau rasanya gak paham paham sama materinya? Atau sangat paham saat guru yang menerangkan? Atau lebih suka teman sendiri yang menerangkan? Atau bahkan sudah paham sebelum diterangkan guru/teman? Wow! Menurut sependek pengetahuan saya, nyantol dan tidaknya materi itu salah satunya dipengaruhi oleh tipe belajar dari masing-masing individu juga. Seperti kita tahu, manusia diciptakan berbeda-beda, dengan kapasitas, keunikan, kekurangan dan kelebihan masing-masing. So, apapun itu yang ada pada diri manusia merupakan fitrah yang harus kita hargai. Ngomongin tipe belajar, saya mengutip pendapat populer dari Sutanto (2006) membagi tipe belajar seseorang menjadi tiga hal :

1. Visual (See it). Orang tipe ini akan menyerap informasi secara optimal berdasarkan apa yang dibaca/dilihatnya.

Ciri-ciri tipe belajar visual:

  1. Bicaranya agak cepat
  2. Mementingkan penampilan dalam berpakaian/presentasi
  3. Tidak mudah diganggu oleh keributan
  4. Lebih ingat yang dilihat daripada yang didengar
  5. Lebih suka membaca daripada dibacakan
  6. Pembaca cepat dan tekun
  7. Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tapi tidak pandai memilih kata-kata
  8. Lebih suka melakukan demonstrasi daripada pidato
  9. Lebih suka musik daripada seni
  10. Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya
  11. Mengingat dengan asosiasi visual.


Agar informasi atau materi yang didapatkan optimal, orang tipe ini sebaiknya belajar dulu di rumah sebelum diterangkan (yaelah sok banget) atau mengulang belajar sendiri di rumah setelah mendapatkan materi.

2. Auditori (Hear it). Informasi akan masuk melalui apa yanng didengarnya.

Ciri-ciri tipe belajar auditori :

  1. Saat bekerja suka bicara kepada diri sendiri
  2. Penampilan rapi
  3. Mudah terganggu oleh keributan
  4. Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat
  5. Senang membaca dengan keras dan mendengarkan
  6. Menggerakkan bibir dan mengucap tulisan di buku ketika membaca
  7. Biasanya ia pembicara yang fasih
  8. Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya
  9. Lebih suka gurauan lisan daripada membaca
  10. Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang terkait visual, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain
  11. Berbicara dalam irama yang terpola
  12. Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna suara.


Orang tipe ini sebaiknya tidak mengabaikan penjelasan guru, karena penjelasannya sangat memengaruhi seberapa banyak informasi yang akan didapat. Tep fokus lah pokoknya.

3. Kinestetik (Do it). Orang tipe ini akan cepat mengerti bila informasi yang diserapnya terlebih dahulu dicontohkan, atau ia membayangkan orang lain melakukan hal yang akan dipelajarinya.

Ciri-ciri tipe kinestetik :

  1. Berbicara perlahan
  2. Penampilan rapi
  3. Tidak terlalu mudah terganggu dengan situasi keributan
  4. Belajar melalui manipulasi dan praktek
  5. Menghafal dengan cara berjalan dan melihat
  6. Menunjuk dengan jari ketika membaca
  7. Kesulitan dalam menulis tapi pandai bercerita
  8. Menyukai buku-buku, dan mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca
  9. Menyukai permainan yang menyibukkan
  10. Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang pernah berada di tempat itu
  11. Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian, mereka menggunakan kata-kata yang mengandung aksi.


Tipe ini bisa dikatakan gabungan dari dua tipe sebelumnya. Orang tipe belajar ini harus dengan “do something” biar  bisa belajar maksimal.

Konklusi dari paparan singkat saya di atas, saya rasa tidak salah jika sebaiknya kita mengenali tipe belajar diri sendiri. Dengan begitu kita tau metode apa yang cocok, kondisi dan suasana belajar bagaimana yang seharusnya kita lakukan. Bagaimanapun juga belajar (atau setidaknya membaca) itu penting, karena dengan membaca kita akan memiliki wawasan lebih daripada tidak membaca. Jika belajar nyaman, informasi tersimpan, ada makanan, perut kenyang, hatipun riang.

Kamis, 05 April 2018

MAKALAH SHALAT QASHAR DAN KHAUF


SHALAT QASHAR DAN KHAUF






Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat Ibadah
Dosen Pengampu Dr. Afdawaiza, S.Ag., M.Ag.

Disusun oleh :
Ayun Matsani Rizky Syauqi          17105030056
Fahrurrozi                                      17105030057
Ulfa Pridayanti                              17105030059
Alfa Limatu Szanaya                     17105030063

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2018

KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Menguasai seluruh alam berkat taufik dan hidayah-Nya, akhirnya kami dari kelompok 6 telah selesai menyusun makalah untuk tugas mata kuliah Tafsir Ayat Ibadah yang berjudul Shalat Qashar dan Khauf.
Sholawat dan salam tak lupa kita sanjungkan kepada baginda Nabi tercinta Rasulullah Muhammad SAW. yang senantiasa kita berusaha ikuti sunnah-sunnah beliau baik qouliyah, fi’liyah maupun taqririyah, dan semoga dengan kesunggguhan usaha tersebut kita mendapatkan kepantasan untuk diakui sebagai umat beliau dan mendapatkan syafaat di yaumul akhir nanti. Amin.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dosen kami, Bapak Dr. Afdawaiza, S.Ag., M.Ag. yang telah ikhlas mengajar kuliah selama semester dua  berjalan. Tak lupa kepada Ayah dan Ibu tercinta di kampung halaman yang senantiasa mendoakan putra-putrinya tak henti-henti. Juga teman-teman Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir khususnya kelas C yang turut memberikan motivasi dan masukan dalam penyelesaian tugas akhir ini.
Kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan tugas makalah di masa mendatang.
Akhirnya kepada Allah lah kami mengharap ridho, semoga kita mendapat petunjuk dan rahmat-Nya. Dan kami berharap, semoga makalah sederhana ini memberi manfaat kepada pembaca yang budiman.

Yogyakarta, Maret 2018
Tim Penulis   


DAFTAR ISI



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Islam adalah agama samawi yang di dalamnya terdapat rukun yang lima. Diantara rukun yang menonjol atau sangat identik dengan islam adalah shalat, karena shalat dilakukan sehari lima waktu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Shalat sendiri dapat dikategorikan ibadah yang diistimewakan, karena perintah melaksanakan shalat datangnya langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad saw. saat peritiwa isra’ mi’raj. Begitupula saat di hari akhir nanti, amal yang paling dominan diperhitungkan adalah shalat. Maka dari itu shalat adalah kewajiban bagi mukallaf (yang memenuhi syarat wajib shalat) dimanapun, kapanpun, dan dalam keadaan bagaimanapun. Baik itu ketika perjalanan, atau bahkan saat peperangan. Dalam makalah ini insyaAllah kami akan membahas shalat qashar dan khauf dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

B.    Rumusan Masalah

1.     Bagaimana analisis struktur dalam QS. An-Nisa : 101-103?
2.     Bagaimana tafsir QS. An-Nisa : 101-103?
3.     Apa saja kandungan hukum yang terdapat dalam QS. An-Nisa : 101-103?

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.     Untuk mengetahui struktur ayat dari QS. An-Nisa : 101-103.
2.     Untuk mengetahui penafsiran QS. An-Nisa : 101-103.
3.     Untuk menggali kandungan hukum yang terdapat dalam QS. An-Nisa : 101-103.

D.    Metode Penulisan

1.     Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah dengan metode kualitatif yaitu dengan mengungkapkan sebuah teori.

2.     Metode Penelitian

Dalam hal ini penulis menggunakan metode deskriptif-analitif. Penulis mengumpulkan beberapa sumber relevan terkait kajian QS. An-Nisa : 101-103 dari beberapa kitab tafsir, buku, dan jurnal yang kami rasa cukup dan bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian penulis menganalisis lebih rinci dari beberapa sumber tersebut dan disusun secara sistematis.

3.     Sumber dan Jenis Data

Terkait sumber primer, penulis menggunakan beberapa kitab tafsir yang telah disyaratkan diantaranya kitab Rowa’i al-Bayan karya Imam Ali Ash-Shobuni, Lubbab fi asbab an-Nuzul karya Imam Jalaluddin Suyuti, Tafsir Munir karya Wahbah Zuhailiy, dan beberapa buku terkait pembahasan makalah.

E.    Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan (latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan).
Bab II : Objek Kajian (ayat, terjemah, mufrodat, kosakata gharib).
Bab III : Analisis Kajian (asbabun nuzul, munasabah ayat, tafsir per ayat, tafsir surat, kandungan hukum).
Bab IV : Penutup (kesimpulan, kritik dan saran)


BAB II
OBJEK KAJI
AN

A.    QS. An-Nisa : 101-103

بسم الله الرحمن الرحيم
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا ﴿١٠١﴾ وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا ﴿١٠٢﴾ فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا﴿١٠٣﴾

B. Terjemah

101. Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
102. Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, Kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan Karena hujan atau Karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah Telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.
103. Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

C. Mufrodat


Kamu bepergian
ضَرَبْتُمْ
Meringkaskan atau memendekkan (mengurangi jumlah raka’at shalat dari empat menjadi dua)
تَقْصُرَوا
Memulai shalat
فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاة
Orang-orang golongan kedua
وَالْيَأْخُذُوا
Mengerjakan shalat
فَإِذَا سَجَدُوا
Mereka berpaling untuk menjaga
فَلْيَكُونُ مِنْ وَرَئِكُمْ
Mengingat atau menyebut
فَاذْكُرُوا
Setelah kembali ke tanah air
فَإِذَ الطْمَئْنَنْتُمْ
Menyempurnakan shalat
فَأقِيمُواالصّلاة
Fardhu yang telah ditentukan waktunya dan wajib dikerjakan pada waktu tersebut
كِتَابًا مَوْقُوتًا
Janganlah merasa lemah dalam memerangi suatu kaum yang menjadi musuhmu
وَلاَ تَهِنُوا
Jangan membuat pertengkaran dengan orang-orang yang berkhianat
وَلاَ تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

D. Makna Mufrodat

ضربتم              Kata dharaba mempunyai beberapa makna, diantaranya memukul, menjadikan, dan bepergian. Untuk menentukan di antara makna-makna tersebut yang dapat dipakai dalam suatu teks tergantung atas konteks kalimat dimana kata dharaba itu berada. Dalam ayat ini, kata dharaba bermakna bepergian.
تقصروا       Kata qashara secara harfiyah bermakna ringkas atau pendek. Mka kata taqshuru dalam ayat ini berarti “meringkaskan” atau “memendekkan”. Maksudnya mengurangi jumlah rakaat shalat dari empat menjadi dua.
كتابا موقوتا        Fardhu yang telah ditentukan waktunya dan dikerjakan pada waktu tersebut tidak sah dikerjakan pada waktu lain.[1]

E. Balaghah

Dalam kata فَإِذا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ terdapat faedah ithlaq al-‘am wa irodaatul khas (melepaskan yang umum dan menghendaki yang khusus); dalam konteks ayat ini yang dimaksud adalah shalat khauf.
Kata فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتاباً مَوْقُوتاً terkandung faedah ithnab (menyatakan maksud dengan pernyataan yang melebihi beserta ada faedah dari kelebihan itu) dengan mengulang lafadz الصَّلاةَ, berfaedah untuk menambah keutamaan shalat.[2]

BAB III
ANALISIS KAJIAN

A.    Asbabun Nuzul

a)     An-Nisaa’ : 101
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Beberapa orang dari Bani Najjar bertanya pada Rasulullah saw., ‘Wahai Rasulullah, apabila kami berpergian di muka bumi bagaimana kami shalat?’” Maka turunlah firman Allah:
`Dan apabila kamu berpergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat, …`
Wahyu ini terpotong[3] (tidak turun untuk beberapa waktu)[4]. Beberapa tahun setelahnya, Rasulullah saw. berperang. Disela-sela perangnya itu beliau mendirikan shalat zhuhur. Orang-orang musyrik yang melihat kejadian tersebut kemudian berkata “Kalian telah memberi kesempatan kepada Muhammad dan para sahabatnya untuk melaksanakan shalat zhuhur. Coba kalian lebih keras terhadap mereka agar tidak sempat melakukannya.”
Kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Sesungguhnya setelah ini mereka akan mengerjakan satu sembahyang lagi seperti yang mereka lakukan itu.” Lalu Allah menurunkan firman_Nya di waktu antara shalat ashar dan zhuhur,
… jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu
b)     An-Nisaa’ : 102
Suatu riwayat yang dishahihkan oleh Ahmad dan al-Hakim,  dan al-Baihaqi juga meriwayatkannya dalam kitab Dalaa’ilun Nubuwaah, bahwa Abi Ayyasy az-Zuraqi berkata,[5] “Kami bersama Rasulullah saw. di Asfan. Di sana kami berhadap-hadapan dengan orang-orang musyrik yang dipimpin oleh Khalid bin Walid dan mereka berada di antara kami dan kiblat. Lalu Rasulullah saw. memimpin melakukan shalat zhuhur, kemudian orang-orang kafir berkata, “Sungguh mereka tadi dalam kondisi lengah dan bisa kita menyerangnya.” Kemudian mereka berkata lagi, “Saat ini tiba waktu mereka melakukan shalat dan itu lebih mereka senangi dari pada anak-anak dan diri mereka sendiri.” Lalu Malaikat Jibril turun membawa ayat ini kepada Rasulullah saw. di antara waktu zhuhur dan ashar:
Dan apabila engkau (Muhammad) berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, …[6]
At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits yang serupa dari Abu Hurairah. Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadits yang serupa dari Jabir bin Abdillah dan Ibnu Abbas.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata , “Firman Allah, ‘Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapatkan suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit, …’ turun pada pada Abdurrahman bin Auf ketika menderita luka-luka.[7]

B.      Munasabah Ayat

Ayat sebelumnya membicarakan perihal jihad fi sabilillah, kemudian hukum-hukumnya hijrah, perpindahan ke daerah lain karena ridho Allah. Sholat adalah kewajiban yang wajib dikerjakan dan bersifat lazim dalam setiap keadaan, tidak akan gugur walau dalam situasi perang atau sedang dalam perjalanan hijrah, atau dalam situasi lainnya  dalam safar.
Namun sering ada kesulitan atau halangan, baik dalam situasi perang maupun safa, oleh karena itu ayat ini menerangkan bagaimana tata cara sholat khouf dan safar, serta memerintahkan untuk menjaga shalat walaupun dalam keadaan berhadapan dengan musuh. Ayat ini telah memberi keringanan dalam situasi perang dan berpergian untuk memudahkan umat muslim melakukan ibadah. Wa Allahu a’lam.[8]

C.    Tafsir Ayat

Disebutkan shalat qashar disini sangat tepat, pada waktu sangat diperlukan dan dibutuhkan. Betapa perlunya orang yang sedang ketakutan ditengah jalan untuk mendapatkan ketenangan hati dengan mengingat Allah. Betapa perlunya perlindungan Allah kepada Si Musafir yang meninggalkan kampung halamanya. Hanya saja shalat secara sempurna dengan segala aturannya seperti berdiri, ruku’, dan   sujud tidak dapat terpenuhi oleh orang-orang yang sedang bepergian di muka bumi ini yang tidak terlepas dari bahaya yang sewaktu-waktu dapat menyergapnya, atau yang selalu diincar oleh mata-mata musuh, yang mungkin saja dapat menyergapnya dan menangkapnya sewaktu dia sedang ruku atau sujud. Karena itu diberikan keringanan untuk mengqashar ketika shalat ketika takut fitnah.
Tidak boleh sama sekali meninggalkan shalat wajib  dalam kondisi apapun, selama seseorang muslim masih sadar dan berakal. Kewajiban shalat secara mutlak tidak gugur, bahkan dalam kondisi sakit sekalipun. Kecuali, jika seseorang pingsan atau hilang kesadaran atau malah tidak sadar sama sekali.
Firman Allah:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu).”
Ayat ini memberikan rukhshah kepada orang-orang mukmin yaitu jika dalam perjalanan mereka dibolehkah mengqashar shalat khususnya shalat raba’iyyah menjadi dua rakaat. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jarak perjalanan yang membolehkan seseorang mengqashar shalatnya. Jika jarak tempuh tidak mencapai ukuran yang telah ditentukan, maka orang yang dalam perjalanan itu tidak boleh mengqashar shalatnya. Dan apabila dia telah sampai ke tempat tujuannya, maka dia boleh mengqashar shalatnya selama dia tidak berniat bermukim di tempat itu, seperti orang yang mengurus suatu urusan apabila urusannya telah selesai dia akan pulang. Akan tetapi, jika dia berniat bermukim di tempat itu dalam waktu tertentu maka orang tersebut tidak boleh lagi mengqashar shalatnya.
Jumhur ulama menetapkan bahwa musafir yang boleh mengqashar shalat hanyalah musafir yang tidak mempunyai tujuan berbuat maksiat. Jika dia bepergian bertujuan untuk maksiat, maka dia tidak boleh mengqashar shalatnya.
Firman Allah:
                     إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
Jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Kata in khiftum (jika kamu takut) dalam ayat ini tidak berati syarat. Seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, baik dia merasa takut akan adanya gangguan dari orang kafir ataupun tidak. Kata tersebut, dalam ayat di atas hanyalah menggambarkan keadaan umat Islam di masa itu, yaitu apabila mereka bepergian selalu mendapat gangguan dari orang-orang kafir.
Firman Allah:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.”
Ayat ini mengajarkan kepada Rasulullah dan para pengikutnya cara melaksanakan shalat dalam peperangan atau dalam ketakutan (shalat khauf).[9] Ibnu Katsir menyebutkan bahwa terdapat banyak cara melakukan shalat khauf, tetapi kebanyakan ulama fiqh membaginya kepada tiga macam cara , yaitu musuh di arah kiblat , musuh bukan diarah kiblat, dan shalat di tengah berkecamuknya peperangan. Ayat diatas menjelaskan cara shalat dalam peperangan saat musuh tidak berada di arah kiblat. Hal itu dilakukan dengan cara membagi pasukan kepada dua kelompok. Satu diantaranya shalat bersama imam satu rakaat. Dan rakaat kedua mereka kerjakan sendiri-sendiri. Setelah kelompok pertama ini salam, kelompok kedua shalat pula bersama imam satu rakaat dan rakaat kedua mereka selesaikan sendiri-sendiri.
Setiap kelompok harus berjaga dengan senjatanya ketika kelompok lainnya sedang shalat. Mereka harus berhati-hati dan berjaga-jaga dan mereka dituntut menjaga barang dan senjata. Hal ini sangat penting karena orang-orang kafir selalu mengintai dan mencari kesempatan untuk menyerang umat Islam ketika mereka sedang lalai.


Firman Allah:
وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”
Orang yang tidak sanggup berperang karena ada halangan seperti sakit atau hujan, tidak berdosa. Namun mereka dituntut selalu waspada. Sebaliknya, jika seseorang tidak mempunyai halangan maka berperang itu diwajibkan baginya.
Firman Allah:
                                 فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُم
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah diwaktu berdiri, di waktu duduk dan diwaktu berbaring.”
Allah memerintahkan orang-orang mukmin agar selalu mengingatNya setelah mengerjakan shalat khouf. Walaupun dalam ayat ini dzikir itu diperintahkan setelah sholat khouf, namun tidaklah berarti dzikir itu diabaikan setelah sholat lainnya. Berdzikir dalam arti do’a dan tasbih setelah sholat khouf lebih utama karena orang yang bersangkutan berada dalam suasana perang. Akan tetapi, dzikir dalam arti lainnya terutama dalam arti taat dan syukur harus dilakukan kapan dan dimana saja.
Jadi, ayat di atas memerintahkan umat islam agar selalu berzikir dalam situasi dan kondisi apapun juga. Jika dzikir dalam ayat itu dimaknai dengan taat dan syukur, seperti yang telah disinggung dalam makna mufrodat, maka berarti Allah memerintahkan orang-orang mukmin agar tetap dalam keadaan taat dan bersyukur kepada-Nya.
Perintah agar berdzikir setelah sholat menunjukkan harus adanya keterkaitan antara sholat dengan aktivitas kehidupan yang dilakukan oleh orang yang sholat. Sholat yang dikerjakan seorang muslim harus dapat mewarnai semua pekerjaan atau aktivitas kesehariannya. Dia harus dapat merasakan kehadiran atau pemantauan Allah dalam setiap waktu, tempat, atau pekerjaan yang dilakukannya. Dengan demikian, dia dapat menjaga dirinya dari perbuatan negatif atau tercela dan suka berbuat posisif serta terpuji. Inilah makna firman Allah, “Bahwa sholat itu dapat mencegah dari perbuata keji dan mungkar”.[10] Jika seorang muslim belum mampu merasakan kehadiran Allah ketika dia beraktivitas, maka sholat yang didirikannya itu tidak akan banyak memberikan arti dalam hidupnya. Hal itu menunjukkan pula bahwa sholat yang ia kerjakan belum termasuk sholat yang berkualitas tinggi. Bahkan dia termasuk dalam kategori orang-orang yang melalaikan sholat, seperti dalam surah Al-Ma’un ayat 4-5.
                     فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” [QS Al Ma’un: 4-5]
Melalaikan sholat tidak hanya berarti melalaikan waktu dengan menunda-nunda pelaksanaannya, tetapi juga berarti orang yang mendirikan sholat bersifat kikir, tidak peduli terhadap anak yatim dan fakir miskin, seperti yang digambarkan pada awal dan akhir surat Al-Ma’un di atas.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa inti dan tujuan pelaksanaanya shalat itu adalah membangun pribadi yang berdzikir kepada Allah sehingga dia merakan kehadiran Tuhan dan  pemantauan-Nya dalam setiap pekerjaan atau perbuatan yang dilakukan.
Firman Allah:
                                             فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ 
Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa).”
Maksudnya, jika orang yang mendirikan shalat itu dalam keadaan aman, bukan dalam keadaan takut maka shalat itu harus disemprnakan dengan melengkapkan syarat dan rukunya.
Firman Allah:
                                    إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Shalat merupakan perintah Allah yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Shalat tidak sah jika tidak pada waktunya, kecuali shalat qada’ atau shalat jama’. Mengenai waktu-waktushalat tersebut telah dijelaskan dalam penafsiran surah al-Isra ayat 78.
Firman Allah:
وَلا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لا يَرْجُونَ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini memotivasi umat islam agar berjihad melawan musuh-musuh Islam. Orang-orang mukmin tidak boleh kecil hati, minder, apalagi takut melawan orang-orang kafir yang menampakan kebencian atau permusuhanya terhadap islam, baik permusuhan secara fisik maupun nonfisik. Jika mereka menentang islam dengan fisik maka umat islam harus membela islam dengan memperlihatkan kekeliruan mereka dalam memahami islam. Perasaan kuat, tidak kecil hati, dan perasaan tidak minder merupakan perwujudan dari dzikir yang menjadi penghubung antara shalat yang didiriakan dengan pribadi yang mendirikan shalat. Artinya, shalat yang benar akan melahirkan sifat dan sikap mulia tersebut.
Kekalahan atau penderitaan yang dialami orang-orang muslim ketika menghadapi musuh-musuh islam tidak boleh membuat mereka mundur dari jihad. Sebab, kekalahan atau penderitaan yang serupa juga mereka alami, bahkan kekalahan atau penderitaan umat islam lebih baik dari penderitaan yang mereka alami. Karena umat islam meyakini bahwa melalui jihad yang mereka lakukan itu, apapun hasilnya baik menang naupun kalah akan mendapatkan pahala dari Allah. Sedangkan orang-orang kafir tidak meyakini hal itu sehingga jika mereka kalah dalam berjuang berarti kekalahan yang konyol.
Secara implisit, ayat diatas juga menggambarkan bahwa perbuatan yang baik yang dilakukan haruslah didasarkan atas iman dan keikhlasan mengharap keridhaan Allah. Jika seorang muslim dalam suatu pekerjaan berhasil meraih tujuannya maka baginya terdapat dua keuntungan material dan keuntungan immaterial berupa pahala dari Allah. Akan tetapi jika dia gagal maka baginya ada satu keuntungan immaterial. Hal ini hanya didapat oleh orang-orang yang selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap situasi dan kondisi. Inilah makna shalat dalam kehidupan, yakni shalat dapat menjadi motor penggerak bagi manusia muslim dalam berbuat atau bekerja sehingga shalat yang dia kerjakan mewarnai kehidupanya.[11]

D.    Kandungan Hukum

1.     Perihal Qashar Shalat dalam Safar
Ayat yang mengatakan “Kamu tidak  berdosa mengqashar shalat” itu jelas menunjukkan adanya qashar dalam shalat safar. Sebab kata “apabila kamu bepergian di bumi” itu maksudnya : apabila kamu pergi ke suatu daerah, dan di sini Allah tidak mempersyaratkan pergi berperang. Tetapi dinyatakan secara umum, meliputi setiap bepergian.
Dengan dasar ayat ini para ‘ulama berpendapat boleh qashar shalat bagi orang yang dalam bepergian. Tetapi mereka kemudian berbeda pendapat tentang status qashar itu sendiri, apakah wajib atau sekedar rukhshah? Dalam hal ini ada dua pendapat :
Pendapat pertama, bahwa qashar itu suatu rukhshah, kalau mau boleh qashar dan kalau mau boleh juga tamam (shalat sempurna). Demikian pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
Pendapat kedua, bahwa qashar itu wajib. Dua rakaat di sini berarti shalatnya musafir sudah tamam. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah.
Berbeda halnya dengan Imam Malik, beliau berpendapat bahwa shalat qashar itu sunnah, bukan wajib.
Alasan-alasan pendapat di atas :
Golongan pertama beralasan sebagai berikut :
a.      Dzahirnya firman Allah : “Kamu tidak berdosa mengqashar shalat” itu menunjukkan tidka wajib. Sebab dihilangkannya dosa itu menunjukkan mubah (boleh), bukan menunjukkan wajib. Seandainya qashar itu wajib niscaya firman Allah itu berbunyi “fa’alaikum an taqshuru minash shalati” (Maka wajib atas kamu mengqashar shalat), atau berbunyi “faqshurush shalata” (Maka qasharlah shalat).
b.     Diriwayatkan : bahwa Siti Aisyah pernah ‘umroh bersama Rasulullah saw. dari Madinah ke Makkah. Maka tatkala sudah mendekati Makkah, ia berkata : “Ya Rasulullah. Aku mengqashar dan aku juga shalat tamam, aku berpuasa dan aku juga berbuka.” Maka jawab Rasulullah saw. : “Engkau telah berbuat baik, hai Aisyah” dan Rasulullah saw. tidak mencelaku.”[12]
c.      Utsman juga pernah shalat tamam, juga qashar dan tidak seorang sahabat pun yang menentangnya. Ini menunjukkan bahwa qashar itu sekedar rukhshah.
d.     Diantara yang menunjukkan apa yang telah kami sebutkan di atas, bahwa beberapa rukhshah untuk musafir itu disebutkan sebagai alternatif (bisa memilih) antara puasa dan berbuka. Maka begitu pula sama halnya qashar shalat ini.
Golongan kedua beralasan sebagai berikut :
a.      Diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwa ia berkata :
صلاة السفرِ ركعتان تمامٌ غيرُ قصرٍ على لسان نبيِّكم
“shalat safar itu dua rakaat, tidak qashar,  melalui lidah Nabimu saw.”
b.     Sesungguhnya Nabi saw. selalu qashar dalam semua bepergiannya, seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata :
كان رسول الله ص م إذا خرج مسافرا صلى ركعتين حتى يرجع
“Rasulullah saw. biasa shalat dua rakaat apabila beliau keluar dalam bepergian, hingga kembali.”
c.      Imran bin Husain juga berkata :
عن عمران بن حصين قال : حججتُ مع النبي ص م فكان يصلي ركعتين حتى يرجع إلى المدينة وأقام بمكة ثمانى عشرة لا يصلى ركعتين, وقال لأهل مكة : صلوا أربعا فأنا قوم سفرٌ.
“Aku pernah pergi haji bersama Nabi saw., maka beliau biasa shalat dua rakaat hingga kembali ke Madinah; dan beliau bermukin di Makkah selama 18 hari, namun beiau tidak pernah shalat kecuali shalat dua rakaat; dan beliau bersabda kepada penduduk Makkah : “Shalatlah kalian empat rakaat, kami ini golongan yang sedang dalam bepergian.”
d.     Ibnu Umar berkata :
صحبت رسول الله ص م في السفر فلم يزد على ركعتين و صحبت أبا بكر و عمر و عثمان رضي الله عنهم في السفر فلم يزدوا على ركعتين حتي قبضهم الله تعالى وقد قال الله تعالى : "لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة"
“aku pernah menemani Rasulullah saw.  dalam suatu bepergian, maka beliau tidak pernah menambah dari dua rakaat; dan aku juga pernah menemani Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a dalam bepergian, namun mereka tidak pernah menambah dari dua rakaat, sehingga meninggal dunia; sedang Allah berfirman, “Sungguh bagimu pada diri Rasulullah adalah teladan yang baik.”
e.       Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata :
فرضت الصلاة ركعتين ركعتين, فزيدت في الحضر وأقرت في السفر
“mula-mula diwajibkan shalat duaa rakaat, dua rakaat, lalu ditambah buat yang di rumah, dan ditetapkan (dua rakaat itu) bagi yang bepergian.”[13]
Selanjutnya mereka juga berkata : semuanya ini adalah shalatnya Rasulullah saw. yang harus diikuti, sebab beliau telah bersabda :
صلو كما رأيتموني أصلى (رواه مسلم)
“shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” HR. Muslim.
2.     Bepergian yang Diperbolehkan Qashar
Para fuqaha berbeda pendapat tentang bepergian yang diperbolehkan mengqashar shalat.
a.      Sebagian berpendapat : bahwa bepergian yang diperbolehkan mengqashar shalat itu harus bepergian yang bersifat taat, seperti jihad, haji, umroh, mencari ilmu, dll atau yang mubah seperti berdagang, rekreasi, dll. Demikian itu menurut Syafi’iyah dan Hanabilah.
b.     Menurut Imam Malik : semua bepergian yang mubah boleh mengqashar shalat. Seperti yang diriwayatkan :
أنّ رجلا جاء إلى رسول الله ص م فقال : يا رسول الله : إني رجل تاجر أختلف إلى البحرين, فأمره أن يصلى ركعتين. قال إبن كثير هذا حديث مرسل.
“seorang laki-laki datang ke tempat Rasulullah saw. seraya bertanya : Ya Rasululllah. Sesungguhnya aku ini seorang pedagang yang mondar-mandir antara dua laut. Lalu Rasulullah saw. menyuruhnya shalat dua rakaat.” Tetapi Ibnu Katsir mengatakan : bahwa hadits ini mursal.
c.      Abu Hanifah, Tsauri , dan Daud berkata : kata “safar” itu mutlak baik yang mubah maupun yang haram, cukup membolehkan qashar, sampaipun andaikata bepergian untuk menyamun dan mengganggu orang jalan. Alasan mereka : karena qashar itu suatu kewajiban yang telah ditentukan untuk orang yang dalam bepergian, seperti yang diterangkan dalam hadits Aisyah : “semula shalat itu diwajibkan dua rakaat, dua rakaat, lalu ditambah bagi yang di rumah, dan ditetapkan dua rakaat itu bagi yang bepergian.” Sedangkan Al-Qur’an sendiri tidak pernah membatasi untuk satu macam bepergian, bukan bepergian yang lain. Jadi safar secara mutlak boleh mengqashar meskipun bepergian untuk maksiyat.
d.     Ibnu ‘Arabi berkata dalam Ahkamul Qur’an : adapun orang yang mengatakan bahwa bepergian untuk maksiyat itu boleh qashar karena qashar itu suatu kewajiban yang telah ditentukan bagi orang yang bepergian, maka hal itu telah kami bentangkan dan jelaskan akan kebatilan pendapat tersebut dalam kitab Talkhish. Allah menetapkan qashar dalam Al-Qur’an itu sebagai takhfif (meringankan), sedangkan tamam (sempurna) suatu pokok. Oleh karena itu bepergian untuk maksiyat tidak boleh qashar, tak ubahnya dengan masalah mengusap sepatu (dalam berwudhu).[14]
e.      Aku (Imam Ash-Shabuni) berkata : pendapat Jumhur yang membatasi dibolehkannya qashar hanya pada bepergian yang mubah itulah yang benar, supaya kita tidak membantu perbuatan maksiyat, sebab Allah berfirman “...dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan...” (QS. Al-Maidah:2)
3.     Jarak Perjalanan yang Diperbolehkan Qashar
Dalam  hal ini para ulama berbeda pendapat :
a.      Ahli Dzahir berpendapat : dekat atau jauh adalah sama saja dalam hal diperbolehkkannya mengqashar.
b.     Syafi’iyah, Hanabilah dan Malikiyah berpendapat : sedikitnya dalam perjalanan dua hari, dan jaraknya itu sejauh 16 farshakh.[15]
c.      Hanafiyah berpendapat : sedikitnya tiga hari, sejauh perjalanan 24 farshakh.
d.     Al-Auza’i berpendapat : sedikitnya perjalanan sehari, yang jaraknya 8 farshakh.[16]
Ibnu ‘Arabi menolak pendapat Dzahiri yang dikatakan : bahwa mereka itu mempermainkan agama. Orang yang beranggapan : bahwa setiap orang yang keluar dari daerahnya lalu boleh qashar shalat dan berbuka, adalah menunjukkan dirinya itu orang asing (a’jami) yang tidak kenal kata “safar” menurut orang-orang Arab. Atau mereka itu bisa disebut memperingan masalah agama. Seandainya bukan lantaran para ulama telah menyebut-nyebut namanya niscaya aku tidak akan melihat dia dengan mataku, dan akupun tidak mau berfikir tentang itu dengan kelebihan hatiku. Sebab orang-orang dahulu seperti para sahabat sendiri sudah berbeda dalam menentukan ukuran safar itu, misalnya Umar, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas menentukan sejauh perjalanan sehari; Ibnu Mas’ud menetapkan sejauh perjalanan tiga hari, yang juga memberitahukan kepada mereka bahwa safar itu adalah setiap bepergian yang berat dan membawa resiko.[17]
4.     Tata Cara shalat Khauf
Al-Imam Abu Yusuf rahimahullah berpendaat : bahwa hukum-hukum shalat khauf yang terkandung dalam ayat di atas adalah khusus untuk Nabi Muhammad saw. bersama pasukannya, berdasar dzahir ayat “dan jika engkau di tengah-tengah mereka.”
Tetapi Jumhur berpendapat : bahwa shalat kahuf itu disyari’atkan untuk umum, karena khitab kepada Nabi Muhammad saw. itu juga berarti khitab untuk umatnya, dan kita memang diperintahkan untuk mengikutinya serta meniru sunnahnya. Sedangkan para imam adalah khalifah-khalifahnya yang datang sesudahnya dan menegakkan syariat dan agamaya. Karena itu tidak dapat diterima pendapat yang menganggap bahwa ini adalah khususiyah (untuk Nabi).
Namun mereka juga berbeda pendapat tentang kaifiyah (tata cara) shalat khauf itu dengan banyak sekali riwayat yang mereka ketahui dari Rasulullah saw.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni : diperkenankan shalat kahuf menurut shalat yang pernah dilakukan Rasulullah saw. Imam Ahmad berkata : semua hadits yang diriwayatkan tentang shalat kahuf ini boleh diamalkan.[18]
Dalam hal ini Imam Ahmad sendiri memilih hadits Sahl bin Abi Hatsmah yang diriwayatkan oleh jama’ah sebagai berikut :
أن رسول الله ص م صلى بأصحابه في الخوف, فصفهم خلفه صفين, فصلى بالذين يلونه ركعة ثم قال : فلم يزل قائما حتى صلى الذين خلفهم ركعة, ثم تقدموا وتأخر الذين كانوا قدامهم فصلى بهم ركعة, ثم قعد حتى صلى الذين تخلفوا ركعة ثم سلّم. (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Rasulullah saw. shalat khauf bersama sahabat-sahabatnya, lalu beliau atur shaf mereka itu menjadi dua shaf lalu ia shalat bersama orang-orang yang di dekatnya satu rakaat, kemudian beliau berdiri, dan terus dalam keadaan berdiri sehingga orang yang shaf pertama tadi shalat satu rakaat, kemudian mereka (orang yang di belakang ini – shaf kedua) maju ke depan, sedang orang-orang yang di depan mereka mundur, lalu Nabi shalat satu rakaat bersama mereka, kemudia beliau duduk sehingga orang-orang yang di belakang tadi shalat satu rakaat, kemudian salam.” HR. Muslim.[19]


BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pada dasarnya hukum shalat lima waktu adalah wajib, apapun keadaan dan situasinya, walaupun dalam kondisi perang, sedang dalam perjalanan shafar, atau situasi lain yang sekiranya memberatkan umat muslim. Namun sesuai firman Allah bahwasannya Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan, maka Islam memberi keringanan dalam menjalankan sholat bagi umat Islam yang sedang dalam situasi tertentu, seperti pada saat perang atau shafar.
Dalam surat an-Nisaa’ ayat 102-103 dijelaskan ketentuan dalam menqashar shalat. Seseorang yang sedang dalam perjalanan, atau sedang berperang, maka diperkenankan baginya untuk mengqashar shalar, yaitu meringkas rakaat shalat yang semula empat rakaat menjadi dua rakaat. Walaupun terdapat perbedaan pendapat tentang makna qashar dalam shalat, namun secara dzahirnya, praktek mengqashar shalat adalah mengubah rakaat shalat yang biasanya empat rakaat menjadi dua rakaat, sedangkan shalat-shalat yang boleh di qashar pun adalah shalat yang berjumlah empat rakaat, yaitu zhuhur, ashar, isya’.
Saat kondisi perang, menqashar shalat adalah keharusan, karena mengingat pada situasi tersebut ada bahaya musuh yang bisa menyerang kapan pun, seperti yang telah di riwayatkan Imam Baihaqi dalam kitab Dalaa’ilun Nubuwaah, bahwasanya orang-orang musyrik ingin memanfaatkan kondisi ini, mereka berencana meyerang pasukan Islam ketika sedang shalat. Atas peristiwa ini, turun wahyu yang memerintahkan untuk mengqashar shalat pada saat perang.
Hukum menqashar shalat pun memunculkan pendapat yang berbeda-beda antar ulama fiqh. Imam Syafi’i dan Imam Hanbali mengungkapkan bahwa shalat qashar merupakan rukhsah. Imam Malik menyatakan hukum shalat qashar adalah sunnah, sedangkan Imam Hanafi menghukuminya wajib. Wa Allahu a’lam.

B.    Kritik dan Saran

Demikian pembahasan kami dalam makalah yang sederhana ini. Pepatah mengatakan, “Tak ada gading yang tak retak”, begitu pula makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran sangatlah kami harapkan dari para pembaca sekalian untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah yang ringkas ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’anul Karim : Al-Qur’an dan Terjemah Dilengkapi Kajian Ushul Fiqih. (2011). Bandung: Syamil.
Al-Jashash, Abu Bakar al-Razi. (1993). Ahkamul Qur'an. Beirut: Darul Fikr.
Al-Jauzi, Imam. (1987). Zadul Masir fi ‘ilm al-Tafsir. Beirut: Darul Fikr.
Al-Zuhaily, Wahbah. (1991). Tafsir Al-Munir. Beirut: Darul Fikr.
Arabi, Ibnu. (1996). Ahkamul Qur'an. Beirut: Darul Kutub al 'Ilmiyah.
Ar-Razi, Imam. (2009). Mafatihul Ghaib. Beirut: Darul Kutub al 'Ilmiyah.
Ash-Shobuni, Muhammad Ali. (2012). Rowa-i' Al-Bayan : Tafsir Ayat Ahkam min Al-Qur'an Jilid 1. Beirut: Maktabah Al-Asrya.
as-Suyuti, Jalaluddin. (2008). Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat-ayat al Qur`an. Jakarta: Gema Insani.
As-Suyuti, Jalaluddin. Lubab fi Asbab al Nuzul. Maktabah Riyadh.
Katsir, Ibnu. (1992). Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Beirut: Maktabah An Nur al ‘ilmiy.
Qudamah, Ibnu. (1992). Al-Mughni. Kairo: Hajar.
Quthub, Sayyid. (2000). Tafsir fi Zhilail Qur'an. Jakarta: Gema Insani.
Uwaidhah, Mahmud A. (2012). Tuntunan Shalat berdasarkan Qur'an dan Hadits. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Yunus, Mahmud. (1973). Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an.
Yusuf, Kadar M. (2011). Tafsir Ayat Ahkam : Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum. Jakarta: Amzan.






 


[1] Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Tuntunan Shalat berdasarkan Qur’an dan Hadits. (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2012)Hal. 47.
[2] Wahbah Al-Zuhaily. Tafsir Munir. (Beirut : Darul Fikr, 1991) hal. 245.
[3] Jalaluddin As-Suyuti. Lubab fi Asbab al Nuzul. (Maktabah al Riyadh) Hal. 77.
[4] Jalaluddin as-Suyuti. Asbabun Nuzul: sebab turunnya ayat ayat al Qur`an. (Jakarta: Gema Insani, 2008) Hal. 194.
[5] HR Ahmad dalam al-Musnad (4/59) dan HR al-Hakim dalam al-Mustadrak.
[6] Jalaluddin As-Suyuti. Lubab fi Asbab al Nuzul. (Maktabah al Riyadh) Hal. 78.
[7] Jalaluddin As-Suyuti. Lubab fi Asbab al Nuzul. (Maktabah al Riyadh) Hal. 78.
Hadits tersebut merupakan riwayat Bukhari dalam Kitabut Tafsir nomor 4599.
[8] Muhammad Ali Ash-Shabuny. Rowai’ al-Bayan : Tafsir Ayat Ahkam min Al-Qur’an. (Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah, 1999) hal. 363.
[9] Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. (Beirut : Maktabah An Nur al ‘ilmiy, 1992) jilid 1 hal. 546
[10] Al-Qur’anul Karim : Al-Qur’an dan Terjemah Dilengkapi Kajian Ushul Fiqih (Bandung : Syamil, 2011) QS. Al-Ankabut : 45. Hal. 402.
[11] Kadar M Yusuf. Tafsir Ayat Ahkam. (Jakarta : Amzah, 2011) hal. 48-54.
[12] Imam Ar-Razi. Mafatihul Ghaib.(Beirut : Darul Kutub al ‘ilmiyah, 2009). Jilid 11 hal.18.
[13] Abi Bakr Ahmad Ar-Razi Al-Jashash, Ahkamul Qur’an. (Beirut : Darul Fikr, 1993) jilid 2 hal. 310.
[14] Ibnu Arabi, Ahkamul Qur’an. (Beirut : Darul Kutub al ‘ilmiyah, 1996) jilid 1 hal. 488.
[15] 1 farshakh = ± 8 km; 16 farshakh = 128 km (Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973) hal. 414.
[16] Ibnu Al-Jauzi. Zadul Masir fi ‘ilm al-Tafsir.(Beirut : Darul Fikr, 1987) jilid 1 hal. 185.
[17] Ibnu Arabi. Ahkamul Qur’an. (Beirut : Darul Kutub al ‘ilmiyah, 1996) jilid 1 hal. 488.
[18] Ibnu Qudamah. Al-Mughni. (Kairo : Hajar, 1992) Jilid 2 hal. 268.
[19] Ali Ash Shobuni. Rowai’ al Bayan. (Beirut : Maktabah Al-Aasrya, 2012) hal. 519

Makalah Shalat Qashar dan Khauf

SHALAT QASHAR DAN KHAUF Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata ...