SHALAT QASHAR
DAN KHAUF
Makalah ini
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat Ibadah
Dosen Pengampu Dr. Afdawaiza, S.Ag., M.Ag.
Dosen Pengampu Dr. Afdawaiza, S.Ag., M.Ag.
Disusun oleh :
Ayun Matsani
Rizky Syauqi 17105030056
Fahrurrozi 17105030057
Ulfa Pridayanti 17105030059
Alfa Limatu Szanaya 17105030063
Fahrurrozi 17105030057
Ulfa Pridayanti 17105030059
Alfa Limatu Szanaya 17105030063
PROGRAM STUDI
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2018
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji
bagi Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Menguasai seluruh alam berkat taufik dan
hidayah-Nya, akhirnya kami dari kelompok 6 telah selesai menyusun makalah untuk
tugas mata kuliah Tafsir Ayat Ibadah yang berjudul Shalat Qashar dan Khauf.
Sholawat dan
salam tak lupa kita sanjungkan kepada baginda Nabi tercinta Rasulullah Muhammad
SAW. yang senantiasa kita berusaha ikuti sunnah-sunnah beliau baik qouliyah,
fi’liyah maupun taqririyah, dan semoga dengan kesunggguhan usaha
tersebut kita mendapatkan kepantasan untuk diakui sebagai umat beliau dan
mendapatkan syafaat di yaumul akhir nanti. Amin.
Ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada Dosen kami, Bapak Dr. Afdawaiza, S.Ag., M.Ag.
yang telah ikhlas mengajar kuliah selama semester dua berjalan. Tak lupa kepada Ayah dan Ibu
tercinta di kampung halaman yang senantiasa mendoakan putra-putrinya tak
henti-henti. Juga teman-teman Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir khususnya kelas C yang
turut memberikan motivasi dan masukan dalam penyelesaian tugas akhir ini.
Kritik dan
saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan tugas makalah di
masa mendatang.
Akhirnya kepada Allah lah kami
mengharap ridho, semoga kita mendapat petunjuk dan rahmat-Nya. Dan kami
berharap, semoga makalah sederhana ini memberi manfaat kepada pembaca yang
budiman.
Yogyakarta, Maret 2018
Tim Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama samawi yang di dalamnya terdapat rukun yang lima.
Diantara rukun yang menonjol atau sangat identik dengan islam adalah shalat,
karena shalat dilakukan sehari lima waktu dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan. Shalat sendiri dapat dikategorikan ibadah yang diistimewakan,
karena perintah melaksanakan shalat datangnya langsung dari Allah kepada Nabi
Muhammad saw. saat peritiwa isra’ mi’raj. Begitupula saat di hari akhir nanti,
amal yang paling dominan diperhitungkan adalah shalat. Maka dari itu shalat
adalah kewajiban bagi mukallaf (yang memenuhi syarat wajib shalat) dimanapun,
kapanpun, dan dalam keadaan bagaimanapun. Baik itu ketika perjalanan, atau
bahkan saat peperangan. Dalam makalah ini insyaAllah kami akan membahas shalat
qashar dan khauf dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis struktur dalam
QS. An-Nisa : 101-103?
2. Bagaimana tafsir QS. An-Nisa :
101-103?
3. Apa saja kandungan hukum yang
terdapat dalam QS. An-Nisa : 101-103?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui struktur ayat dari QS. An-Nisa : 101-103.
2.
Untuk
mengetahui penafsiran QS. An-Nisa : 101-103.
3.
Untuk
menggali kandungan hukum yang terdapat dalam QS. An-Nisa : 101-103.
D. Metode Penulisan
1. Jenis Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan oleh penulis adalah dengan metode kualitatif yaitu
dengan mengungkapkan sebuah teori.
2. Metode Penelitian
Dalam hal ini penulis menggunakan
metode deskriptif-analitif. Penulis mengumpulkan beberapa sumber relevan
terkait kajian QS. An-Nisa : 101-103 dari beberapa kitab tafsir, buku, dan
jurnal yang kami rasa cukup dan bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian penulis
menganalisis lebih rinci dari beberapa sumber tersebut dan disusun secara
sistematis.
3. Sumber dan Jenis Data
Terkait sumber primer, penulis
menggunakan beberapa kitab tafsir yang telah disyaratkan diantaranya kitab Rowa’i
al-Bayan karya Imam Ali Ash-Shobuni, Lubbab fi asbab an-Nuzul karya
Imam Jalaluddin Suyuti, Tafsir Munir karya Wahbah Zuhailiy, dan beberapa
buku terkait pembahasan makalah.
E. Sistematika Penulisan
Bab I :
Pendahuluan (latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, sistematika penulisan).
Bab II :
Objek Kajian (ayat, terjemah, mufrodat, kosakata gharib).
Bab III :
Analisis Kajian (asbabun nuzul, munasabah ayat, tafsir per ayat, tafsir surat,
kandungan hukum).
Bab IV :
Penutup (kesimpulan, kritik dan saran)
BAB II
OBJEK KAJIAN
A. QS. An-Nisa : 101-103
بسم الله الرحمن الرحيم
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ
الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ
الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا ﴿١٠١﴾ وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ
الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ
فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى
لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ
فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ
بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا
حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا ﴿١٠٢﴾ فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا
اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا
مَوْقُوتًا﴿١٠٣﴾
B. Terjemah
101. Dan apabila kamu bepergian di
muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu.
102. Dan apabila kamu berada di
tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata, Kemudian apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah mereka pindah
dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang
kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin
supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu
kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu,
jika kamu mendapat sesuatu kesusahan Karena hujan atau Karena kamu memang
sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah Telah menyediakan azab yang
menghinakan bagi orang-orang kafir itu.
103. Maka apabila kamu Telah
menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan
di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka Dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
C. Mufrodat
Kamu
bepergian
|
ضَرَبْتُمْ
|
Meringkaskan
atau memendekkan (mengurangi jumlah raka’at shalat dari empat menjadi dua)
|
تَقْصُرَوا
|
Memulai
shalat
|
فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاة
|
Orang-orang
golongan kedua
|
وَالْيَأْخُذُوا
|
Mengerjakan
shalat
|
فَإِذَا سَجَدُوا
|
Mereka
berpaling untuk menjaga
|
فَلْيَكُونُ مِنْ وَرَئِكُمْ
|
Mengingat
atau menyebut
|
فَاذْكُرُوا
|
Setelah
kembali ke tanah air
|
فَإِذَ الطْمَئْنَنْتُمْ
|
Menyempurnakan
shalat
|
فَأقِيمُواالصّلاة
|
Fardhu
yang telah ditentukan waktunya dan wajib dikerjakan pada waktu tersebut
|
كِتَابًا مَوْقُوتًا
|
Janganlah
merasa lemah dalam memerangi suatu kaum yang menjadi musuhmu
|
وَلاَ تَهِنُوا
|
Jangan
membuat pertengkaran dengan orang-orang yang berkhianat
|
وَلاَ تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
|
D. Makna Mufrodat
ضربتم Kata dharaba
mempunyai beberapa makna, diantaranya memukul, menjadikan, dan bepergian.
Untuk menentukan di antara makna-makna tersebut yang dapat dipakai dalam suatu
teks tergantung atas konteks kalimat dimana kata dharaba itu berada.
Dalam ayat ini, kata dharaba bermakna bepergian.
تقصروا Kata qashara secara harfiyah bermakna
ringkas atau pendek. Mka kata taqshuru dalam ayat ini berarti
“meringkaskan” atau “memendekkan”. Maksudnya mengurangi jumlah rakaat shalat
dari empat menjadi dua.
كتابا موقوتا Fardhu yang telah ditentukan waktunya dan
dikerjakan pada waktu tersebut tidak sah dikerjakan pada waktu lain.[1]
E. Balaghah
Dalam kata فَإِذا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ terdapat faedah ithlaq al-‘am
wa irodaatul khas (melepaskan yang umum dan menghendaki yang khusus); dalam
konteks ayat ini yang dimaksud adalah shalat khauf.
Kata فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
كِتاباً مَوْقُوتاً terkandung faedah ithnab (menyatakan maksud dengan
pernyataan yang melebihi beserta ada faedah dari kelebihan itu) dengan
mengulang lafadz الصَّلاةَ, berfaedah untuk menambah keutamaan shalat.[2]
BAB III
ANALISIS KAJIAN
A. Asbabun Nuzul
a) An-Nisaa’ : 101
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ali berkata,
“Beberapa orang dari Bani Najjar bertanya pada Rasulullah saw., ‘Wahai
Rasulullah, apabila kami berpergian di muka bumi bagaimana kami shalat?’” Maka
turunlah firman Allah:
`Dan apabila kamu berpergian di bumi, maka
tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat, …`
Wahyu ini terpotong[3] (tidak
turun untuk beberapa waktu)[4]. Beberapa
tahun setelahnya, Rasulullah saw. berperang. Disela-sela perangnya itu beliau
mendirikan shalat zhuhur. Orang-orang musyrik yang melihat kejadian tersebut
kemudian berkata “Kalian telah memberi kesempatan kepada Muhammad dan para
sahabatnya untuk melaksanakan shalat zhuhur. Coba kalian lebih keras terhadap
mereka agar tidak sempat melakukannya.”
Kemudian salah seorang dari mereka
menjawab, “Sesungguhnya setelah ini mereka akan mengerjakan satu sembahyang
lagi seperti yang mereka lakukan itu.” Lalu Allah menurunkan firman_Nya di
waktu antara shalat ashar dan zhuhur,
“… jika kamu takut diserang orang kafir.
Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”
b) An-Nisaa’ : 102
Suatu riwayat yang dishahihkan oleh Ahmad
dan al-Hakim, dan al-Baihaqi juga
meriwayatkannya dalam kitab Dalaa’ilun Nubuwaah, bahwa Abi Ayyasy az-Zuraqi
berkata,[5] “Kami
bersama Rasulullah saw. di Asfan. Di sana kami berhadap-hadapan dengan
orang-orang musyrik yang dipimpin oleh Khalid bin Walid dan mereka berada di
antara kami dan kiblat. Lalu Rasulullah saw. memimpin melakukan shalat zhuhur,
kemudian orang-orang kafir berkata, “Sungguh mereka tadi dalam kondisi lengah
dan bisa kita menyerangnya.” Kemudian mereka berkata lagi, “Saat ini tiba waktu
mereka melakukan shalat dan itu lebih mereka senangi dari pada anak-anak dan
diri mereka sendiri.” Lalu Malaikat Jibril turun membawa ayat ini kepada
Rasulullah saw. di antara waktu zhuhur dan ashar:
“Dan apabila engkau (Muhammad) berada
ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat
bersama-sama mereka, …”[6]
At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits yang
serupa dari Abu Hurairah. Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadits yang serupa dari
Jabir bin Abdillah dan Ibnu Abbas.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas
berkata , “Firman Allah, ‘Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu,
jika kamu mendapatkan suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit, …’
turun pada pada Abdurrahman bin Auf ketika menderita luka-luka.[7]
B. Munasabah Ayat
Ayat sebelumnya membicarakan perihal jihad fi
sabilillah, kemudian hukum-hukumnya hijrah, perpindahan ke daerah lain karena
ridho Allah. Sholat adalah kewajiban yang wajib dikerjakan dan bersifat lazim
dalam setiap keadaan, tidak akan gugur walau dalam situasi perang atau sedang
dalam perjalanan hijrah, atau dalam situasi lainnya dalam safar.
Namun sering ada kesulitan atau halangan, baik dalam situasi
perang maupun safa, oleh karena itu ayat ini menerangkan bagaimana tata cara
sholat khouf dan safar, serta memerintahkan untuk menjaga shalat walaupun dalam
keadaan berhadapan dengan musuh. Ayat ini telah memberi keringanan dalam
situasi perang dan berpergian untuk memudahkan umat muslim melakukan ibadah. Wa
Allahu a’lam.[8]
C. Tafsir Ayat
Disebutkan shalat qashar disini
sangat tepat, pada waktu sangat diperlukan dan dibutuhkan. Betapa perlunya
orang yang sedang ketakutan ditengah jalan untuk mendapatkan ketenangan hati
dengan mengingat Allah. Betapa perlunya perlindungan Allah kepada Si Musafir
yang meninggalkan kampung halamanya. Hanya saja shalat secara sempurna dengan
segala aturannya seperti berdiri, ruku’, dan
sujud tidak dapat terpenuhi oleh orang-orang yang sedang bepergian di
muka bumi ini yang tidak terlepas dari bahaya yang sewaktu-waktu dapat
menyergapnya, atau yang selalu diincar oleh mata-mata musuh, yang mungkin saja
dapat menyergapnya dan menangkapnya sewaktu dia sedang ruku atau sujud. Karena
itu diberikan keringanan untuk mengqashar ketika shalat ketika takut fitnah.
Tidak boleh sama sekali meninggalkan
shalat wajib dalam kondisi apapun,
selama seseorang muslim masih sadar dan berakal. Kewajiban shalat secara mutlak
tidak gugur, bahkan dalam kondisi sakit sekalipun. Kecuali, jika seseorang
pingsan atau hilang kesadaran atau malah tidak sadar sama sekali.
Firman Allah:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ
“Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar
sembahyang(mu).”
Ayat ini memberikan rukhshah kepada
orang-orang mukmin yaitu jika dalam perjalanan mereka dibolehkah mengqashar
shalat khususnya shalat raba’iyyah menjadi dua rakaat. Para ulama berbeda
pendapat dalam menentukan jarak perjalanan yang membolehkan seseorang
mengqashar shalatnya. Jika jarak tempuh tidak mencapai ukuran yang telah
ditentukan, maka orang yang dalam perjalanan itu tidak boleh mengqashar
shalatnya. Dan apabila dia telah sampai ke tempat tujuannya, maka dia boleh
mengqashar shalatnya selama dia tidak berniat bermukim di tempat itu, seperti
orang yang mengurus suatu urusan apabila urusannya telah selesai dia akan
pulang. Akan tetapi, jika dia berniat bermukim di tempat itu dalam waktu
tertentu maka orang tersebut tidak boleh lagi mengqashar shalatnya.
Jumhur ulama menetapkan bahwa
musafir yang boleh mengqashar shalat hanyalah musafir yang tidak mempunyai
tujuan berbuat maksiat. Jika dia bepergian bertujuan untuk maksiat, maka dia
tidak boleh mengqashar shalatnya.
Firman Allah:
إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ
كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
“Jika kamu
takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu.”
Kata in khiftum (jika kamu
takut) dalam ayat ini tidak berati syarat. Seorang musafir boleh mengqashar
shalatnya, baik dia merasa takut akan adanya gangguan dari orang kafir ataupun
tidak. Kata tersebut, dalam ayat di atas hanyalah menggambarkan keadaan umat Islam
di masa itu, yaitu apabila mereka bepergian selalu mendapat gangguan dari
orang-orang kafir.
Firman Allah:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ
طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا
مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ
وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ
عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً
“Dan apabila
kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah
dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang
kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin
supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu
kamu dengan sekaligus.”
Ayat ini mengajarkan kepada
Rasulullah dan para pengikutnya cara melaksanakan shalat dalam peperangan atau
dalam ketakutan (shalat khauf).[9]
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa terdapat banyak cara melakukan shalat khauf,
tetapi kebanyakan ulama fiqh membaginya kepada tiga macam cara , yaitu musuh di
arah kiblat , musuh bukan diarah kiblat, dan shalat di tengah berkecamuknya
peperangan. Ayat diatas menjelaskan cara shalat dalam peperangan saat musuh
tidak berada di arah kiblat. Hal itu dilakukan dengan cara membagi pasukan
kepada dua kelompok. Satu diantaranya shalat bersama imam satu rakaat. Dan
rakaat kedua mereka kerjakan sendiri-sendiri. Setelah kelompok pertama ini
salam, kelompok kedua shalat pula bersama imam satu rakaat dan rakaat kedua
mereka selesaikan sendiri-sendiri.
Setiap kelompok harus berjaga dengan
senjatanya ketika kelompok lainnya sedang shalat. Mereka harus berhati-hati dan
berjaga-jaga dan mereka dituntut menjaga barang dan senjata. Hal ini sangat
penting karena orang-orang kafir selalu mengintai dan mencari kesempatan untuk
menyerang umat Islam ketika mereka sedang lalai.
Firman Allah:
وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ
أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ
أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
“Dan tidak ada
dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan
karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang
kafir itu.”
Orang yang tidak sanggup berperang
karena ada halangan seperti sakit atau hujan, tidak berdosa. Namun mereka
dituntut selalu waspada. Sebaliknya, jika seseorang tidak mempunyai halangan
maka berperang itu diwajibkan baginya.
Firman Allah:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا
اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُم
“Maka apabila
kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah diwaktu berdiri, di waktu
duduk dan diwaktu berbaring.”
Allah memerintahkan orang-orang
mukmin agar selalu mengingatNya setelah mengerjakan shalat khouf. Walaupun
dalam ayat ini dzikir itu diperintahkan setelah sholat khouf, namun tidaklah
berarti dzikir itu diabaikan setelah sholat lainnya. Berdzikir dalam arti do’a
dan tasbih setelah sholat khouf lebih utama karena orang yang bersangkutan
berada dalam suasana perang. Akan tetapi, dzikir dalam arti lainnya terutama
dalam arti taat dan syukur harus dilakukan kapan dan dimana saja.
Jadi, ayat di atas memerintahkan
umat islam agar selalu berzikir dalam situasi dan kondisi apapun juga. Jika
dzikir dalam ayat itu dimaknai dengan taat dan syukur, seperti yang telah
disinggung dalam makna mufrodat, maka berarti Allah memerintahkan orang-orang
mukmin agar tetap dalam keadaan taat dan bersyukur kepada-Nya.
Perintah agar berdzikir setelah
sholat menunjukkan harus adanya keterkaitan antara sholat dengan aktivitas
kehidupan yang dilakukan oleh orang yang sholat. Sholat yang dikerjakan seorang
muslim harus dapat mewarnai semua pekerjaan atau aktivitas kesehariannya. Dia
harus dapat merasakan kehadiran atau pemantauan Allah dalam setiap waktu,
tempat, atau pekerjaan yang dilakukannya. Dengan demikian, dia dapat menjaga
dirinya dari perbuatan negatif atau tercela dan suka berbuat posisif serta
terpuji. Inilah makna firman Allah, “Bahwa sholat itu dapat mencegah dari
perbuata keji dan mungkar”.[10]
Jika seorang muslim belum mampu merasakan kehadiran Allah ketika dia
beraktivitas, maka sholat yang didirikannya itu tidak akan banyak memberikan
arti dalam hidupnya. Hal itu menunjukkan pula bahwa sholat yang ia kerjakan
belum termasuk sholat yang berkualitas tinggi. Bahkan dia termasuk dalam
kategori orang-orang yang melalaikan sholat, seperti dalam surah Al-Ma’un ayat
4-5.
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ
هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” [QS Al Ma’un: 4-5]
Melalaikan sholat tidak hanya
berarti melalaikan waktu dengan menunda-nunda pelaksanaannya, tetapi juga
berarti orang yang mendirikan sholat bersifat kikir, tidak peduli terhadap anak
yatim dan fakir miskin, seperti yang digambarkan pada awal dan akhir surat
Al-Ma’un di atas.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa inti dan tujuan pelaksanaanya shalat itu adalah membangun pribadi yang
berdzikir kepada Allah sehingga dia merakan kehadiran Tuhan dan pemantauan-Nya dalam setiap pekerjaan atau
perbuatan yang dilakukan.
Firman Allah:
فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
“Kemudian
apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa).”
Maksudnya, jika orang yang
mendirikan shalat itu dalam keadaan aman, bukan dalam keadaan takut maka shalat
itu harus disemprnakan dengan melengkapkan syarat dan rukunya.
Firman Allah:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya
salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.”
Shalat merupakan perintah Allah yang
wajib dikerjakan oleh setiap muslim pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
Shalat tidak sah jika tidak pada waktunya, kecuali shalat qada’ atau shalat
jama’. Mengenai waktu-waktushalat tersebut telah dijelaskan dalam penafsiran
surah al-Isra ayat 78.
Firman Allah:
وَلا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ
فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لا يَرْجُونَ
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Janganlah
kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita
kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana
kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka
harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini memotivasi umat islam agar
berjihad melawan musuh-musuh Islam. Orang-orang mukmin tidak boleh kecil hati,
minder, apalagi takut melawan orang-orang kafir yang menampakan kebencian atau
permusuhanya terhadap islam, baik permusuhan secara fisik maupun nonfisik. Jika
mereka menentang islam dengan fisik maka umat islam harus membela islam dengan
memperlihatkan kekeliruan mereka dalam memahami islam. Perasaan kuat, tidak
kecil hati, dan perasaan tidak minder merupakan perwujudan dari dzikir yang
menjadi penghubung antara shalat yang didiriakan dengan pribadi yang mendirikan
shalat. Artinya, shalat yang benar akan melahirkan sifat dan sikap mulia
tersebut.
Kekalahan atau penderitaan yang
dialami orang-orang muslim ketika menghadapi musuh-musuh islam tidak boleh
membuat mereka mundur dari jihad. Sebab, kekalahan atau penderitaan yang serupa
juga mereka alami, bahkan kekalahan atau penderitaan umat islam lebih baik dari
penderitaan yang mereka alami. Karena umat islam meyakini bahwa melalui jihad
yang mereka lakukan itu, apapun hasilnya baik menang naupun kalah akan
mendapatkan pahala dari Allah. Sedangkan orang-orang kafir tidak meyakini hal
itu sehingga jika mereka kalah dalam berjuang berarti kekalahan yang konyol.
Secara implisit, ayat diatas juga
menggambarkan bahwa perbuatan yang baik yang dilakukan haruslah didasarkan atas
iman dan keikhlasan mengharap keridhaan Allah. Jika seorang muslim dalam suatu
pekerjaan berhasil meraih tujuannya maka baginya terdapat dua keuntungan
material dan keuntungan immaterial berupa pahala dari Allah. Akan tetapi jika
dia gagal maka baginya ada satu keuntungan immaterial. Hal ini hanya didapat
oleh orang-orang yang selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap situasi dan
kondisi. Inilah makna shalat dalam kehidupan, yakni shalat dapat menjadi motor
penggerak bagi manusia muslim dalam berbuat atau bekerja sehingga shalat yang
dia kerjakan mewarnai kehidupanya.[11]
D. Kandungan Hukum
1.
Perihal
Qashar Shalat dalam Safar
Ayat yang mengatakan “Kamu
tidak berdosa mengqashar shalat” itu
jelas menunjukkan adanya qashar dalam shalat safar. Sebab kata “apabila kamu
bepergian di bumi” itu maksudnya : apabila kamu pergi ke suatu daerah, dan di
sini Allah tidak mempersyaratkan pergi berperang. Tetapi dinyatakan secara
umum, meliputi setiap bepergian.
Dengan dasar ayat ini para ‘ulama
berpendapat boleh qashar shalat bagi orang yang dalam bepergian. Tetapi mereka
kemudian berbeda pendapat tentang status qashar itu sendiri, apakah wajib atau
sekedar rukhshah? Dalam hal ini ada dua pendapat :
Pendapat pertama, bahwa qashar itu
suatu rukhshah, kalau mau boleh qashar dan kalau mau boleh juga tamam (shalat
sempurna). Demikian pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
Pendapat kedua, bahwa qashar itu
wajib. Dua rakaat di sini berarti shalatnya musafir sudah tamam. Demikian pendapat
Imam Abu Hanifah.
Berbeda halnya dengan Imam Malik,
beliau berpendapat bahwa shalat qashar itu sunnah, bukan wajib.
Alasan-alasan pendapat di atas :
Golongan pertama beralasan sebagai
berikut :
a.
Dzahirnya
firman Allah : “Kamu tidak berdosa mengqashar shalat” itu menunjukkan tidka
wajib. Sebab dihilangkannya dosa itu menunjukkan mubah (boleh), bukan
menunjukkan wajib. Seandainya qashar itu wajib niscaya firman Allah itu
berbunyi “fa’alaikum an taqshuru minash shalati” (Maka wajib atas kamu
mengqashar shalat), atau berbunyi “faqshurush shalata” (Maka qasharlah
shalat).
b.
Diriwayatkan
: bahwa Siti Aisyah pernah ‘umroh bersama Rasulullah saw. dari Madinah ke
Makkah. Maka tatkala sudah mendekati Makkah, ia berkata : “Ya Rasulullah. Aku
mengqashar dan aku juga shalat tamam, aku berpuasa dan aku juga berbuka.” Maka
jawab Rasulullah saw. : “Engkau telah berbuat baik, hai Aisyah” dan Rasulullah
saw. tidak mencelaku.”[12]
c.
Utsman juga
pernah shalat tamam, juga qashar dan tidak seorang sahabat pun yang
menentangnya. Ini menunjukkan bahwa qashar itu sekedar rukhshah.
d.
Diantara yang
menunjukkan apa yang telah kami sebutkan di atas, bahwa beberapa rukhshah untuk
musafir itu disebutkan sebagai alternatif (bisa memilih) antara puasa dan
berbuka. Maka begitu pula sama halnya qashar shalat ini.
Golongan
kedua beralasan sebagai berikut :
a.
Diriwayatkan
dari Umar bin Khattab bahwa ia berkata :
صلاة السفرِ
ركعتان تمامٌ غيرُ قصرٍ على لسان نبيِّكم
“shalat safar itu dua rakaat, tidak
qashar, melalui lidah Nabimu saw.”
b.
Sesungguhnya
Nabi saw. selalu qashar dalam semua bepergiannya, seperti yang diriwayatkan
dari Ibnu Abbas r.a ia berkata :
كان رسول الله
ص م إذا خرج مسافرا صلى ركعتين حتى يرجع
“Rasulullah saw. biasa shalat dua rakaat
apabila beliau keluar dalam bepergian, hingga kembali.”
c.
Imran bin
Husain juga berkata :
عن عمران بن
حصين قال : حججتُ مع النبي ص م فكان يصلي ركعتين حتى يرجع إلى المدينة وأقام بمكة
ثمانى عشرة لا يصلى ركعتين, وقال لأهل مكة : صلوا أربعا فأنا قوم سفرٌ.
“Aku pernah pergi haji bersama Nabi saw.,
maka beliau biasa shalat dua rakaat hingga kembali ke Madinah; dan beliau
bermukin di Makkah selama 18 hari, namun beiau tidak pernah shalat kecuali
shalat dua rakaat; dan beliau bersabda kepada penduduk Makkah : “Shalatlah
kalian empat rakaat, kami ini golongan yang sedang dalam bepergian.”
d.
Ibnu Umar
berkata :
صحبت رسول
الله ص م في السفر فلم يزد على ركعتين و صحبت أبا بكر و عمر و عثمان رضي الله عنهم
في السفر فلم يزدوا على ركعتين حتي قبضهم الله تعالى وقد قال الله تعالى : "لقد
كان لكم في رسول الله أسوة حسنة"
“aku pernah menemani Rasulullah saw. dalam suatu bepergian, maka beliau tidak
pernah menambah dari dua rakaat; dan aku juga pernah menemani Abu Bakar, Umar
dan Utsman r.a dalam bepergian, namun mereka tidak pernah menambah dari dua
rakaat, sehingga meninggal dunia; sedang Allah berfirman, “Sungguh bagimu pada
diri Rasulullah adalah teladan yang baik.”
e.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a ia
berkata :
فرضت الصلاة
ركعتين ركعتين, فزيدت في الحضر وأقرت في السفر
“mula-mula diwajibkan shalat duaa rakaat,
dua rakaat, lalu ditambah buat yang di rumah, dan ditetapkan (dua rakaat itu)
bagi yang bepergian.”[13]
Selanjutnya mereka juga
berkata : semuanya ini adalah shalatnya Rasulullah saw. yang harus diikuti,
sebab beliau telah bersabda :
صلو كما
رأيتموني أصلى (رواه مسلم)
“shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat
aku shalat.” HR. Muslim.
2.
Bepergian
yang Diperbolehkan Qashar
Para fuqaha berbeda pendapat tentang
bepergian yang diperbolehkan mengqashar shalat.
a.
Sebagian
berpendapat : bahwa bepergian yang diperbolehkan mengqashar shalat itu harus
bepergian yang bersifat taat, seperti jihad, haji, umroh, mencari ilmu, dll
atau yang mubah seperti berdagang, rekreasi, dll. Demikian itu menurut
Syafi’iyah dan Hanabilah.
b.
Menurut Imam
Malik : semua bepergian yang mubah boleh mengqashar shalat. Seperti yang
diriwayatkan :
أنّ رجلا جاء
إلى رسول الله ص م فقال : يا رسول الله : إني رجل تاجر أختلف إلى البحرين, فأمره
أن يصلى ركعتين. قال إبن كثير هذا حديث مرسل.
“seorang laki-laki
datang ke tempat Rasulullah saw. seraya bertanya : Ya Rasululllah. Sesungguhnya
aku ini seorang pedagang yang mondar-mandir antara dua laut. Lalu Rasulullah
saw. menyuruhnya shalat dua rakaat.” Tetapi Ibnu Katsir mengatakan : bahwa
hadits ini mursal.
c.
Abu Hanifah,
Tsauri , dan Daud berkata : kata “safar” itu mutlak baik yang mubah maupun yang
haram, cukup membolehkan qashar, sampaipun andaikata bepergian untuk menyamun
dan mengganggu orang jalan. Alasan mereka : karena qashar itu suatu kewajiban
yang telah ditentukan untuk orang yang dalam bepergian, seperti yang
diterangkan dalam hadits Aisyah : “semula shalat itu diwajibkan dua rakaat, dua
rakaat, lalu ditambah bagi yang di rumah, dan ditetapkan dua rakaat itu bagi
yang bepergian.” Sedangkan Al-Qur’an sendiri tidak pernah membatasi untuk satu
macam bepergian, bukan bepergian yang lain. Jadi safar secara mutlak boleh
mengqashar meskipun bepergian untuk maksiyat.
d.
Ibnu ‘Arabi
berkata dalam Ahkamul Qur’an : adapun orang yang mengatakan bahwa
bepergian untuk maksiyat itu boleh qashar karena qashar itu suatu kewajiban
yang telah ditentukan bagi orang yang bepergian, maka hal itu telah kami bentangkan
dan jelaskan akan kebatilan pendapat tersebut dalam kitab Talkhish.
Allah menetapkan qashar dalam Al-Qur’an itu sebagai takhfif (meringankan),
sedangkan tamam (sempurna) suatu pokok. Oleh karena itu bepergian untuk
maksiyat tidak boleh qashar, tak ubahnya dengan masalah mengusap sepatu (dalam
berwudhu).[14]
e.
Aku (Imam
Ash-Shabuni) berkata : pendapat Jumhur yang membatasi dibolehkannya qashar
hanya pada bepergian yang mubah itulah yang benar, supaya kita tidak membantu
perbuatan maksiyat, sebab Allah berfirman “...dan janganlah kamu
tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan...” (QS. Al-Maidah:2)
3.
Jarak
Perjalanan yang Diperbolehkan Qashar
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat :
a.
Ahli Dzahir
berpendapat : dekat atau jauh adalah sama saja dalam hal diperbolehkkannya
mengqashar.
b.
Syafi’iyah,
Hanabilah dan Malikiyah berpendapat : sedikitnya dalam perjalanan dua hari, dan
jaraknya itu sejauh 16 farshakh.[15]
c.
Hanafiyah berpendapat
: sedikitnya tiga hari, sejauh perjalanan 24 farshakh.
d.
Al-Auza’i
berpendapat : sedikitnya perjalanan sehari, yang jaraknya 8 farshakh.[16]
Ibnu ‘Arabi menolak pendapat Dzahiri
yang dikatakan : bahwa mereka itu mempermainkan agama. Orang yang beranggapan :
bahwa setiap orang yang keluar dari daerahnya lalu boleh qashar shalat dan
berbuka, adalah menunjukkan dirinya itu orang asing (a’jami) yang tidak kenal
kata “safar” menurut orang-orang Arab. Atau mereka itu bisa disebut memperingan
masalah agama. Seandainya bukan lantaran para ulama telah menyebut-nyebut
namanya niscaya aku tidak akan melihat dia dengan mataku, dan akupun tidak mau
berfikir tentang itu dengan kelebihan hatiku. Sebab orang-orang dahulu seperti
para sahabat sendiri sudah berbeda dalam menentukan ukuran safar itu, misalnya
Umar, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas menentukan sejauh perjalanan sehari; Ibnu
Mas’ud menetapkan sejauh perjalanan tiga hari, yang juga memberitahukan kepada
mereka bahwa safar itu adalah setiap bepergian yang berat dan membawa resiko.[17]
4.
Tata Cara
shalat Khauf
Al-Imam Abu Yusuf rahimahullah
berpendaat : bahwa hukum-hukum shalat khauf yang terkandung dalam ayat di atas
adalah khusus untuk Nabi Muhammad saw. bersama pasukannya, berdasar dzahir ayat
“dan jika engkau di tengah-tengah mereka.”
Tetapi Jumhur berpendapat : bahwa
shalat kahuf itu disyari’atkan untuk umum, karena khitab kepada Nabi Muhammad
saw. itu juga berarti khitab untuk umatnya, dan kita memang diperintahkan untuk
mengikutinya serta meniru sunnahnya. Sedangkan para imam adalah
khalifah-khalifahnya yang datang sesudahnya dan menegakkan syariat dan agamaya.
Karena itu tidak dapat diterima pendapat yang menganggap bahwa ini adalah
khususiyah (untuk Nabi).
Namun mereka juga berbeda pendapat
tentang kaifiyah (tata cara) shalat khauf itu dengan banyak sekali riwayat yang
mereka ketahui dari Rasulullah saw.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni
: diperkenankan shalat kahuf menurut shalat yang pernah dilakukan Rasulullah
saw. Imam Ahmad berkata : semua hadits yang diriwayatkan tentang shalat kahuf
ini boleh diamalkan.[18]
Dalam hal ini Imam Ahmad sendiri
memilih hadits Sahl bin Abi Hatsmah yang diriwayatkan oleh jama’ah sebagai
berikut :
أن رسول الله ص م صلى بأصحابه في
الخوف, فصفهم خلفه صفين, فصلى بالذين يلونه ركعة ثم قال : فلم يزل قائما حتى صلى
الذين خلفهم ركعة, ثم تقدموا وتأخر الذين كانوا قدامهم فصلى بهم ركعة, ثم قعد حتى
صلى الذين تخلفوا ركعة ثم سلّم. (رواه مسلم)
“Sesungguhnya
Rasulullah saw. shalat khauf bersama sahabat-sahabatnya, lalu beliau atur shaf
mereka itu menjadi dua shaf lalu ia shalat bersama orang-orang yang di dekatnya
satu rakaat, kemudian beliau berdiri, dan terus dalam keadaan berdiri sehingga
orang yang shaf pertama tadi shalat satu rakaat, kemudian mereka (orang yang di
belakang ini – shaf kedua) maju ke depan, sedang orang-orang yang di depan
mereka mundur, lalu Nabi shalat satu rakaat bersama mereka, kemudia beliau
duduk sehingga orang-orang yang di belakang tadi shalat satu rakaat, kemudian
salam.” HR. Muslim.[19]
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya hukum shalat lima waktu adalah wajib, apapun keadaan dan
situasinya, walaupun dalam kondisi perang, sedang dalam perjalanan shafar, atau
situasi lain yang sekiranya memberatkan umat muslim. Namun sesuai firman Allah bahwasannya Allah
menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan, maka Islam memberi
keringanan dalam menjalankan sholat bagi umat Islam yang sedang dalam situasi
tertentu, seperti pada saat perang atau shafar.
Dalam surat an-Nisaa’ ayat 102-103 dijelaskan ketentuan dalam menqashar
shalat. Seseorang yang sedang dalam perjalanan, atau sedang berperang, maka
diperkenankan baginya untuk mengqashar shalar, yaitu meringkas rakaat shalat
yang semula empat rakaat menjadi dua rakaat. Walaupun terdapat perbedaan
pendapat tentang makna qashar dalam shalat, namun secara dzahirnya, praktek
mengqashar shalat adalah mengubah rakaat shalat yang biasanya empat rakaat
menjadi dua rakaat, sedangkan shalat-shalat yang boleh di qashar pun adalah
shalat yang berjumlah empat rakaat, yaitu zhuhur, ashar, isya’.
Saat kondisi perang, menqashar shalat adalah keharusan, karena mengingat
pada situasi tersebut ada bahaya musuh yang bisa menyerang kapan pun, seperti
yang telah di riwayatkan Imam Baihaqi dalam kitab Dalaa’ilun Nubuwaah,
bahwasanya orang-orang musyrik ingin memanfaatkan kondisi ini, mereka berencana
meyerang pasukan Islam ketika sedang shalat. Atas peristiwa ini, turun wahyu
yang memerintahkan untuk mengqashar shalat pada saat perang.
Hukum menqashar shalat pun memunculkan pendapat yang berbeda-beda antar
ulama fiqh. Imam Syafi’i dan Imam Hanbali mengungkapkan bahwa shalat qashar
merupakan rukhsah. Imam Malik menyatakan hukum shalat qashar adalah sunnah,
sedangkan Imam Hanafi menghukuminya wajib. Wa Allahu a’lam.
B. Kritik dan Saran
Demikian pembahasan kami dalam makalah yang
sederhana ini. Pepatah mengatakan, “Tak ada gading yang tak retak”, begitu pula makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Kritik dan saran sangatlah kami harapkan dari para pembaca sekalian untuk
perbaikan makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah yang ringkas ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jashash,
Abu Bakar al-Razi. (1993). Ahkamul Qur'an. Beirut: Darul Fikr.
Al-Jauzi,
Imam. (1987). Zadul Masir fi ‘ilm al-Tafsir.
Beirut: Darul Fikr.
Al-Zuhaily,
Wahbah. (1991). Tafsir Al-Munir. Beirut: Darul
Fikr.
Arabi, Ibnu. (1996). Ahkamul Qur'an. Beirut: Darul Kutub
al 'Ilmiyah.
Ar-Razi, Imam. (2009). Mafatihul Ghaib. Beirut: Darul
Kutub al 'Ilmiyah.
Ash-Shobuni,
Muhammad Ali. (2012). Rowa-i'
Al-Bayan : Tafsir Ayat Ahkam min Al-Qur'an Jilid 1. Beirut: Maktabah
Al-Asrya.
as-Suyuti,
Jalaluddin. (2008). Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat-ayat
al Qur`an. Jakarta: Gema Insani.
As-Suyuti,
Jalaluddin. Lubab fi Asbab al Nuzul. Maktabah Riyadh.
Katsir, Ibnu. (1992). Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Beirut:
Maktabah An Nur al ‘ilmiy.
Qudamah, Ibnu. (1992). Al-Mughni. Kairo: Hajar.
Quthub, Sayyid. (2000). Tafsir fi Zhilail Qur'an. Jakarta:
Gema Insani.
Uwaidhah,
Mahmud A. (2012). Tuntunan Shalat berdasarkan Qur'an
dan Hadits. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Yunus, Mahmud. (1973). Kamus Arab-Indonesia. Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an.
Yusuf, Kadar M. (2011). Tafsir Ayat Ahkam : Tafsir Tematik
Ayat-ayat Hukum. Jakarta: Amzan.
[1] Mahmud Abdul
Lathif Uwaidhah, Tuntunan Shalat berdasarkan Qur’an dan Hadits. (Bogor :
Pustaka Thariqul Izzah, 2012)Hal. 47.
[4] Jalaluddin as-Suyuti. Asbabun
Nuzul: sebab turunnya ayat ayat al Qur`an. (Jakarta: Gema Insani, 2008) Hal. 194.
Hadits
tersebut merupakan riwayat Bukhari dalam Kitabut Tafsir nomor 4599.
[8] Muhammad
Ali Ash-Shabuny. Rowai’ al-Bayan : Tafsir
Ayat Ahkam min Al-Qur’an. (Beirut: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyah,
1999) hal. 363.
[9] Ibnu Katsir.
Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. (Beirut : Maktabah An Nur al ‘ilmiy, 1992)
jilid 1 hal. 546
[10]
Al-Qur’anul Karim : Al-Qur’an dan Terjemah Dilengkapi Kajian Ushul Fiqih
(Bandung : Syamil, 2011) QS. Al-Ankabut : 45. Hal. 402.
[11]
Kadar M Yusuf. Tafsir Ayat Ahkam. (Jakarta : Amzah, 2011) hal. 48-54.
[12]
Imam Ar-Razi. Mafatihul Ghaib.(Beirut : Darul Kutub al ‘ilmiyah, 2009). Jilid
11 hal.18.
[13] Abi
Bakr Ahmad Ar-Razi Al-Jashash, Ahkamul Qur’an. (Beirut : Darul Fikr,
1993) jilid 2 hal. 310.
[14]
Ibnu Arabi, Ahkamul Qur’an. (Beirut : Darul Kutub al ‘ilmiyah, 1996)
jilid 1 hal. 488.
[15] 1 farshakh =
± 8 km; 16 farshakh = 128 km (Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta
: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973) hal. 414.
[17]
Ibnu Arabi. Ahkamul Qur’an. (Beirut : Darul Kutub al ‘ilmiyah, 1996)
jilid 1 hal. 488.
[18]
Ibnu Qudamah. Al-Mughni. (Kairo : Hajar, 1992) Jilid 2 hal. 268.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar